Senin, 08 Januari 2018

studi naskah tafsir : Keteraan Gender


MAKALAH
STUDI NASKAH TAFSIR
KESETARAAN GENDER (QS. AN-NISA’ AYAT 34)

 









DOSEN PEMBIMBING
Ust. Dr. Ahmad Husnul Hakim, MA

DISUSUN OLEH:
Jihad Abdullah
Kasis Darmawan
Fahmi Izul Widad

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA
2017/2018

PENDAHULUAN
Alqur’an adalah kitab suci umat islam yang terkumpul di dalamnya petunjuk dan hikmah. Alqur’an juga merupakan landasan hukum bagi umat manusia yang mutlak sehingga perlu untuk mematuhi dan mentaati norma-norma hukum yang tersurat dalam Alqur’an.
Dalam Alquran dinyatakan bahwa Allah SWT menciptakan manusia menjadi bermacam-macam suku , bangsa dan budaya yang berbeda-beda agar kita senantiasa bergaul dan saling mengenal satu sama lainya. Disamping beragam suku dan ras  yang Allah ciptakan di dunia ini, Allah SWT menciptakan manusia menjadi dua jenis gender, yakni laki-laki dan perempuan.
Setiap masing-masing dari laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang telah ditentukan oleh Allah dalam Alqur’an, Namun beberapa ayat dalam Alquran secara literatur terdapat unsur superioritas laki-laki atas perempuan. Tentu saja hal ini menjadi sorotan tajam bagi para feminis  yang mempertahankan akan kesetaraan gender laki-laki dengan perempuan. Salah satu ayat yang menjadi kontroversi terkait kesetaraan gender adalah QS. An-Nisa’ 4:34.
Maka, pada makalah ini akan dibahasa sedikit tentang persoalan relasi gender khususnya dalam masalah keluarga yang tersirat dalam QS. An-NIsa’ 4:34.





A. Pengertian Seks dan Gender
Zaitullah Subhan menjelaskan seks sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis yang meliputi perbedaan komposisi hormone dan kimia dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristiik biologis lainnya. Sedangka gender adalah lebih banyak berkonsentrasi pada spek sosial, budaya, psikologis dan aspek non biologis lainnya. Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa seks merupakan kodrati dan keberadaannya alami sedangkan gender merupakan konstruk budaya dan dapat berubah-ubah (tidak baku).
Kodrat perempuan dan laki-laki adalah kekhususan yang tidak dapat ditukar yang berhubungan dengan biologis, yang termasuk kodrat perempuan adalah menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui dan menopause.[1]
Dalam kajian gender hal yang berkaitan dengan pembahasan adalah mengenai atribut gender (gender attribute), identitas gender (gender identity), beban gender (gender assignment), peran gender (role of gender) dan pembagian kerja gender.
Untuk menselaraskan dan menciptakan relasi sosial dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan sosial dan kemanusiaan, maka  dipandang perlu untuk menciptakan individu yang berkualitas, bermoral dan  mempunyai kepedulian yang berlandaskan cinta kasih dan saling mengerti dan menghormati, karena tidak ada satupun struktur sosial yang menjamin terciptanya relasi sosial yang harmonis tanpa dipengaruhi individu-individu yang bermoral.

C. Kesetaraan Gender
Permasalahan terkait relasi perempuan dan laki-laki pada dasarnya masih menjadi realitas factual di masyarakat. Permasalahan tersebut di latar belakangi oleh beberapa factor, diantaranya yaitu kontruksi sosio-kultural masyarakat yang patriakhal serta pemahaman terhadap teks-teks keagamaan yang terkesan bias genderdan melegalkan segala bentuk superiotas dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Hal itu kemudian berimbas pada kontruksi paradigma masyarakat yang tidak adil gender. Dalam wilayah domestic, paradigma tersebut termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Diantaranya yaitu pembagian peran yang tidak seimbang diantara anggota keluarga, serta adanya dominasi dan superioritas laki-laki terhadap perempuan yang kemudian menjadikan posisi mereka lebih tinggi dan menjadi penentu semua kebijakan domestic.[2]
            Terkait hal tersebut, Al-Quran sebagai otoritas hokum tertinggi pada dasarnya sangat menekankan kehormatan, persamaan manusia, dan kesetaraan gender. Hal tersebut yang dijelaskan Al-qur’an dalam Surah Al-Hujurat 13 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
            Oleh karena itu, reintrepetasi terhadap teks-teks keagamaan yang terkesan bias gender sangat diperlukan. Hal ini penting, mengingat bahwa teks keagamaan seperti Al-Quran dan Hadist merupakan pedoman masyarakat, serta berposisi sebagai sumber hokum. Dengan demikian, upaya reinterpretasi merupakan langkah penting dalam mengkonstruk  paradigma masyarakat yangadil gender.[3]
Adapun upaya reinterpretasi terhadap Al-quran dengan berprinsip pada penafsiran yang berperspektif gender pada dasarnya telah banyak dilakukan oleh intelektual muslim kontemporer.


D. Reinterpretasi terhadap Alquran Surah An-Nisa ayat 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Terkait Surah an-Nisā’ ayat 34 tersebut Yuksel, dkk melihat empat kata kunci atau ungkapan yang  menurutnya diterjemahkan secara keliru oleh para penerjemah tradisional. Pertama, lafal qawwāmun ‘alā an-Nisā’ yang diterjemahkan dengan “yang bertanggung jawab atas wanita-wanita (in charge of women).” Kedua, lafal qānitāt yang sering diterjemahkan dengan “taat (obedient)” terhadap suami. Ketiga, lafal nusyūz yang diterjemahkan dengan “pemberontakan (rebellion)” atau “penentangan (disobedience)” atau “oposisi (opposition)” terhadap laki-laki. Keempat, lafal idribūhunna yang diterjemahkan dengan “cambuk (scourge),” atau “pukulan (beat)” atau “pukulan dengan ringan (beat lightly).” Oleh karena itu mereka melakukan eksplorasi linguistik pada keempat key word tersebut. Lafal qawwāmun ‘alā an-nisa’ mereka terjemahkan dengan makna “penyedia  untuk wanita-wanita (providers for women)” atau “untuk memperhatikan wanita-wanita (observant of women).” Adapun lafal qānitāt mereka maknai dengan kepatuhan yang dikaitkan dengan kewajiban seorang yang dikhususkan untuk Allah. Selanjutnya lafal nusyūz dimaknai sebagai “ketidaksetiaan dalam pernikahan (disloyalty in marriage),” sedangkan lafal i«ribūhunna diterjemahkan dengan tinggalkanlah. Akan tetapi, karena yang menjadi inti dari pembahasan mereka terhadap Surah an-Nisā’ ayat 34 tersebut adalah mengenai kekerasan dalam rumah tangga, maka eksplorasi li-nguistik mereka lebih ditekankan pada lafal idribūhunna’.[4]
Lafal idribūhunna dalam ayat di atas seringkali diterjemahkan dengan makna “cambuk (scourge),” atau “pukulan (beat)” atau “pukulan dengan ringan (beat lightly).” Sehingga secara tekstual, lafal fa idribūhunna dalam Surah an-Nisā’/4: 34 tersebut memang mengindikasikan pelegalan terhadap perilaku tindak kekerasan di dalam rumah tangga, dimana seorang suami diperbolehkan untuk memukul istri. Oleh karena itu, ayat tersebut tampak bertentangan dengan konsep pernikahan .
E. Argumen Penafsiran Kesetaraan Jender Terhadap QS. An-Nisa:34
             Penafsiran ayat ini selama ini lebih banyak dipahami oleh kebanyakan ulama tafsir  secara tektual atau normatif, sehingga melahirkan ketentuan kaum pria menjadi  pemimpin bagi wanita yang menimbulkan persepsi negative terhadap kedudukan kaum wanita, menjadikan pria lebih superior dibanding wanita dan wanita (isteri) diperlakukan sekehendak suami, sebab kehidupannya sepenuhnya tergantung pada suaminya. Pandangan ini senada dengan pandangan tiga mufasir terkemuka di Indonesia: Hamka, Muhammad Yunus dan tafsir departemen Agama yang cenderung menilai pria punya nilai lebih dibanding wanita.[5]
         Para pemikir islam seperti Fatima Mernissi, Amina Wadud dan Asghar Ali Engineer berupaya mereinterprestasi ayat tersebut. Al-Quran membawa ajaran yang normative dan kontekstual. Secara normatif al-quran membicarakan kesejajaran antara pria dan wanita, namun secara kontekstual memberikan kelebihan terhadap kaum pria misalnya ayat tentang kepemimpinan ini atau qawwamun.
           Kata qawwam muncul tiga kali dalam al-quran yaitu surat al-Nisa: 34 dan 135 serta al-Maidah :8. Dalam tafsir buya Hamka, Muhammad Yunus dan Dep. Agama kata qawwam di dua ayat yang lain (an-Nisa: 135 dan al-Maidah: 8) tidak diterjemahkan dengan pemimpin tetapi degan “berdiri karena Allah”,”lurus karena Allah”,”orang-orang yang selalu menegakakan kebenaran karena Allah”. Namun dalam kamus Lisan al-Arab, kalimat قوام   diartikan “kaum pria adalah penjamin dan penjaga urusan kaum wanita. Maka menurut Zaitunnah Subhan makna mengayomi, menopang, penaggung jawab, penjamin (dikaitkan dengan memberi nafkah) itu lebih tepat. Karena kepemimpinan merupakan salah satu sifat orang-mukmin, baik pria maupun wanita sesuai dengan aturannya serta memberikan komitmen kepada keadilan dan keseimbangan.
         Seorang suami dalam ayat ini  memiliki hak normatif  pemimpin bagi isterinya yang diatur oleh islam. Ada beberapa hikmah disyariatkannya kepemimpinan pria atas kaum wanita, alasan :”kaum pria penjamin ekonomi keluarga sebagaimana disebutkan ayat 34 al-Nisa’:”dan karena mereka (kaum pria/suami) memberi nafkah dari harta kekayaan mereka,,,”.
Menurut Zaitunnah Subhan ayat ini bukan sebagai pernyataan normatif tapi pernyataan kontesktual. Al-Quran hanya mengatakan bahwa pria adalah qawwam menurut gramatika arab: susunan kalimat mubtada khabar dan tidak mengatakan bahwa mereka (pria) harus menjadi qawwam. Maka selama pria yang memberi nafkah ini akan mengikat bagi semua wanita pada semua masa dan semua keadaan. Maka bukanlah hal ini menjadi perbedaan hakiki, melainkan hanya perbedaan fungisional saja. Artinya jika ada istri yang secara ekonomi  dapat mandiri baik dari harta waris atau penghasilan sendiri dan memberikan penghasilanya untuk keluarganya maka kelebihan dan keunggulan suami menjadi berkurang karena ia tidak memiliki keunggulan dalam bidang ekonomi.
Dalam al-quran istilah-istilah gender mempunyai makna yang signifikan, misalnya dalam ayat yang berkaitan dengan kepemimpinan ini, yaitu kata “rijal” (pria) dikaitkan degan “nisa’” (wanita). Kata nisa’ berkonotasi  feminim, domistik, lemah lembut, bahkan bermakna banyak lupa, sementara rijal bermakna orang yang berjalan kaki, jadi makna sosiologis sesuai dengan artinya, rijal atau pria itu bergerak, berusaha diruang publik, sedangkan wanita yang di rumah. Kalau wanita itu lebih aktif, maka secara sosiologis, ai menjadi rijal, dan kalau pria itu di rumah secara sosiologis ia menjadi nisa’. Tetapi kategori gender, yaitu biologis, ia tetap al-zakar, secara sosiologis ia nisa’.
Ayat 34 surat an-nisa’ ini merupakan kategori ekonomis sosiologis. Jika itu merupakan kategori sosiologis, berarti bahwa kodrat ada yang alami (nature) dan historical contruction (nurture).Selama ini, konstruksi sosial itu akhirnya dibakukan menjadi konstruksi teologis.[6]



KESIMPULAN
            Dalam persoalan perempuan, Teks-teks al-Qur’an dan Hadis dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama adalah teks yang menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Terdapat beberapa ayat dan hadis yang secara tegas menyatakan kesejajaran perempuan dan laki-laki, dan banyak ayat dan hadist lain yang menyatakannya secara umum. Kelompok kedua adalah teks yang secara literal menunjukkan inferioritas perempuan ketika berhadapan dengan laki-laki, bahkan cenderung bersikap misoginis terhadap mereka.
            Ayat Surah An-Nisa’ ayat 34 Adalah salah satunya yang secara literatur menyatakan keunggulan dan kekuasaan kaum laki-laki terhadap perempuan, Ulama klasik terdahulu banyak yang menafsirkan ayat tersebut dengan mendukung paradigma tersebut sehingga menuai kontroversi terhadap beberapa kalangan yang mengajukan untuk mengreinterpretasikan ayat tersebut dengan konteks saat ini.
           

DAFTAR PUSTAKA
Siti Shoichah, Aas , Pendidikan Asertif Gender dalam Perspektfi Alquran, Mumtaz, Jakarta:Program Pasca Sarjana PTIQ, 2006.   
Matswah, Akrimi, Reinterpretasi Ayat-Ayat tentang Relasi Gender dalam Keluarga, Shuhuf Vol.7 , Jakarta: Majallah Lidirosatil quran, 2014.
Subhan, Zaitunnah, Tafsir Kebencian:Studi Bias Jender dalam Tafsir Quran, Yogyakarta: PT. LKiS Pelanggi Aksara, 2016.




[1] Aas Siti Shoichah, Pendidikan Asertif Gender dalam Perspektfi Alquran, Mumtaz, (Jakarta:Program Pasca Sarjana PTIQ, 2006). Hlm. 100.
[2] Akrimi Matswah, Reinterpretasi Ayat-Ayat tentang Relasi Gender dalam Keluarga, Shuhuf Vol.7 ,(Jakarta: Majallah Lidirosatil quran, 2014). Hlm.304.
[3] Ibid hlm. 305
[4] Akrimi Matswah, Reinterpretasi Ayat-Ayat tentang Relasi Gender dalam Keluarga, Shuhuf Vol.7 ,(Jakarta: Majallah Lidirosatil quran, 2014). Hlm.317

[5] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian:Studi Bias Jender dalam Tafsir Quran, (Yogyakarta:PT. LKiS Pelanggi Aksara, 2016),hal.102
[6] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian:Studi Bias Jender dalam Tafsir Quran,...hal.111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tafsir Tahlily surah An Nisa Ayat 36-44

Untuk mengakses Tafsir Tahlily surah An Nisa Ayat 36-44 klik disini