MAKALAH
STUDI
NASKAH
TAFSIR
KESETARAAN GENDER (QS. AN-NISA’ AYAT 34)
DOSEN
PEMBIMBING
Ust.
Dr. Ahmad Husnul Hakim,
MA
DISUSUN OLEH:
Jihad Abdullah
Kasis
Darmawan
Fahmi Izul Widad
INSTITUT
PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA
2017/2018
PENDAHULUAN
Alqur’an adalah kitab suci umat islam yang terkumpul di dalamnya
petunjuk dan hikmah. Alqur’an juga merupakan landasan hukum bagi umat manusia
yang mutlak sehingga perlu untuk mematuhi dan mentaati norma-norma hukum yang
tersurat dalam Alqur’an.
Dalam Alquran dinyatakan bahwa Allah SWT menciptakan manusia
menjadi bermacam-macam suku , bangsa dan budaya yang berbeda-beda agar kita
senantiasa bergaul dan saling mengenal satu sama lainya. Disamping beragam suku
dan ras yang Allah ciptakan di dunia
ini, Allah SWT menciptakan manusia menjadi dua jenis gender, yakni laki-laki
dan perempuan.
Setiap masing-masing dari laki-laki dan perempuan memiliki hak dan
kewajiban masing-masing yang telah ditentukan oleh Allah dalam Alqur’an, Namun
beberapa ayat dalam Alquran secara literatur terdapat unsur superioritas
laki-laki atas perempuan. Tentu saja hal ini menjadi sorotan tajam bagi para
feminis yang mempertahankan akan
kesetaraan gender laki-laki dengan perempuan. Salah satu ayat yang menjadi
kontroversi terkait kesetaraan gender adalah QS. An-Nisa’ 4:34.
Maka, pada makalah ini akan dibahasa sedikit tentang persoalan
relasi gender khususnya dalam masalah keluarga yang tersirat dalam QS. An-NIsa’
4:34.
A. Pengertian Seks dan Gender
Zaitullah Subhan menjelaskan seks sebagai perbedaan laki-laki dan
perempuan secara biologis yang meliputi perbedaan komposisi hormone dan kimia
dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristiik biologis lainnya.
Sedangka gender adalah lebih banyak berkonsentrasi pada spek sosial, budaya,
psikologis dan aspek non biologis lainnya. Definisi tersebut memberikan
gambaran bahwa seks merupakan kodrati dan keberadaannya alami sedangkan gender
merupakan konstruk budaya dan dapat berubah-ubah (tidak baku).
Kodrat perempuan dan laki-laki adalah kekhususan yang tidak dapat
ditukar yang berhubungan dengan biologis, yang termasuk kodrat perempuan adalah
menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui dan menopause.[1]
Dalam kajian gender hal yang berkaitan dengan pembahasan adalah mengenai
atribut gender (gender attribute), identitas gender (gender identity), beban
gender (gender assignment), peran gender (role of gender) dan pembagian kerja
gender.
Untuk menselaraskan dan menciptakan relasi sosial dan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan sosial dan kemanusiaan, maka dipandang perlu untuk menciptakan individu
yang berkualitas, bermoral dan mempunyai
kepedulian yang berlandaskan cinta kasih dan saling mengerti dan menghormati,
karena tidak ada satupun struktur sosial yang menjamin terciptanya relasi
sosial yang harmonis tanpa dipengaruhi individu-individu yang bermoral.
C. Kesetaraan Gender
Permasalahan terkait relasi perempuan dan laki-laki pada dasarnya
masih menjadi realitas factual di masyarakat. Permasalahan tersebut di latar
belakangi oleh beberapa factor, diantaranya yaitu kontruksi sosio-kultural
masyarakat yang patriakhal serta pemahaman terhadap teks-teks keagamaan yang
terkesan bias genderdan melegalkan segala bentuk superiotas dan dominasi
laki-laki terhadap perempuan. Hal itu kemudian berimbas pada kontruksi
paradigma masyarakat yang tidak adil gender. Dalam wilayah domestic, paradigma
tersebut termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Diantaranya yaitu pembagian
peran yang tidak seimbang diantara anggota keluarga, serta adanya dominasi dan
superioritas laki-laki terhadap perempuan yang kemudian menjadikan posisi
mereka lebih tinggi dan menjadi penentu semua kebijakan domestic.[2]
Terkait hal
tersebut, Al-Quran sebagai otoritas hokum tertinggi pada dasarnya sangat
menekankan kehormatan, persamaan manusia, dan kesetaraan gender. Hal tersebut
yang dijelaskan Al-qur’an dalam Surah Al-Hujurat 13 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Oleh karena itu,
reintrepetasi terhadap teks-teks keagamaan yang terkesan bias gender sangat
diperlukan. Hal ini penting, mengingat bahwa teks keagamaan seperti Al-Quran
dan Hadist merupakan pedoman masyarakat, serta berposisi sebagai sumber hokum.
Dengan demikian, upaya reinterpretasi merupakan langkah penting dalam
mengkonstruk paradigma masyarakat
yangadil gender.[3]
Adapun upaya reinterpretasi terhadap Al-quran dengan berprinsip
pada penafsiran yang berperspektif gender pada dasarnya telah banyak dilakukan
oleh intelektual muslim kontemporer.
D.
Reinterpretasi terhadap Alquran Surah An-Nisa ayat 34
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Terkait Surah an-Nisā’ ayat 34 tersebut Yuksel, dkk melihat empat
kata kunci atau ungkapan yang menurutnya
diterjemahkan secara keliru oleh para penerjemah tradisional. Pertama, lafal qawwāmun
‘alā an-Nisā’ yang diterjemahkan dengan “yang bertanggung jawab atas
wanita-wanita (in charge of women).” Kedua, lafal qānitāt yang sering
diterjemahkan dengan “taat (obedient)” terhadap suami. Ketiga, lafal
nusyūz yang diterjemahkan dengan “pemberontakan (rebellion)” atau
“penentangan (disobedience)” atau “oposisi (opposition)” terhadap
laki-laki. Keempat, lafal idribūhunna yang diterjemahkan dengan “cambuk (scourge),”
atau “pukulan (beat)” atau “pukulan dengan ringan (beat lightly).”
Oleh karena itu mereka melakukan eksplorasi linguistik pada keempat key word
tersebut. Lafal qawwāmun ‘alā an-nisa’ mereka terjemahkan dengan makna
“penyedia untuk wanita-wanita (providers
for women)” atau “untuk memperhatikan wanita-wanita (observant of women).”
Adapun lafal qānitāt mereka maknai dengan kepatuhan yang dikaitkan dengan
kewajiban seorang yang dikhususkan untuk Allah. Selanjutnya lafal nusyūz
dimaknai sebagai “ketidaksetiaan dalam pernikahan (disloyalty in marriage),”
sedangkan lafal i«ribūhunna diterjemahkan dengan tinggalkanlah. Akan tetapi,
karena yang menjadi inti dari pembahasan mereka terhadap Surah an-Nisā’ ayat 34
tersebut adalah mengenai kekerasan dalam rumah tangga, maka eksplorasi
li-nguistik mereka lebih ditekankan pada lafal idribūhunna’.[4]
Lafal idribūhunna dalam ayat di atas seringkali
diterjemahkan dengan makna “cambuk (scourge),” atau “pukulan (beat)”
atau “pukulan dengan ringan (beat lightly).” Sehingga secara tekstual,
lafal fa idribūhunna dalam Surah an-Nisā’/4: 34 tersebut memang
mengindikasikan pelegalan terhadap perilaku tindak kekerasan di dalam rumah
tangga, dimana seorang suami diperbolehkan untuk memukul istri. Oleh karena
itu, ayat tersebut tampak bertentangan dengan konsep pernikahan .
E.
Argumen Penafsiran Kesetaraan Jender Terhadap QS. An-Nisa:34
Penafsiran ayat
ini selama ini lebih banyak dipahami oleh kebanyakan ulama tafsir secara tektual atau normatif,
sehingga melahirkan ketentuan kaum pria menjadi
pemimpin bagi wanita yang menimbulkan persepsi negative terhadap
kedudukan kaum wanita, menjadikan pria lebih superior dibanding wanita dan
wanita (isteri) diperlakukan sekehendak suami, sebab kehidupannya sepenuhnya
tergantung pada suaminya. Pandangan ini senada dengan pandangan tiga mufasir
terkemuka di Indonesia: Hamka, Muhammad Yunus dan tafsir departemen Agama yang
cenderung menilai pria punya nilai lebih dibanding wanita.[5]
Para
pemikir islam seperti Fatima Mernissi, Amina Wadud dan Asghar Ali Engineer
berupaya mereinterprestasi ayat tersebut. Al-Quran membawa ajaran yang
normative dan kontekstual. Secara normatif al-quran membicarakan kesejajaran antara pria dan
wanita, namun secara kontekstual memberikan kelebihan terhadap kaum pria
misalnya ayat tentang kepemimpinan ini atau qawwamun.
Kata qawwam muncul tiga kali dalam al-quran yaitu surat al-Nisa:
34 dan 135 serta al-Maidah :8. Dalam tafsir buya Hamka, Muhammad Yunus dan Dep.
Agama kata qawwam di dua ayat yang lain (an-Nisa: 135 dan al-Maidah: 8) tidak
diterjemahkan dengan pemimpin tetapi degan “berdiri karena Allah”,”lurus karena
Allah”,”orang-orang yang selalu menegakakan kebenaran karena Allah”. Namun
dalam kamus Lisan al-Arab, kalimat قوام diartikan “kaum pria adalah penjamin dan
penjaga urusan kaum wanita. Maka menurut Zaitunnah Subhan makna mengayomi,
menopang, penaggung jawab, penjamin (dikaitkan dengan memberi nafkah) itu lebih
tepat. Karena kepemimpinan merupakan salah satu sifat orang-mukmin, baik pria
maupun wanita sesuai dengan aturannya serta memberikan komitmen kepada keadilan
dan keseimbangan.
Seorang suami dalam ayat ini
memiliki hak normatif pemimpin
bagi isterinya yang diatur oleh islam. Ada beberapa hikmah disyariatkannya
kepemimpinan pria atas kaum wanita, alasan :”kaum pria penjamin ekonomi
keluarga sebagaimana disebutkan ayat 34 al-Nisa’:”dan karena mereka (kaum
pria/suami) memberi nafkah dari harta kekayaan mereka,,,”.
Menurut Zaitunnah Subhan ayat ini bukan
sebagai pernyataan normatif tapi pernyataan kontesktual. Al-Quran hanya
mengatakan bahwa pria adalah qawwam menurut gramatika arab: susunan
kalimat mubtada khabar dan tidak mengatakan bahwa mereka (pria) harus menjadi
qawwam. Maka selama pria yang memberi nafkah ini akan mengikat bagi semua
wanita pada semua masa dan semua keadaan. Maka bukanlah hal ini menjadi perbedaan
hakiki, melainkan hanya perbedaan fungisional saja. Artinya jika ada istri yang
secara ekonomi dapat mandiri baik dari
harta waris atau penghasilan sendiri dan memberikan penghasilanya untuk
keluarganya maka kelebihan dan keunggulan suami menjadi berkurang karena ia
tidak memiliki keunggulan dalam bidang ekonomi.
Dalam al-quran istilah-istilah gender
mempunyai makna yang signifikan, misalnya dalam ayat yang berkaitan dengan
kepemimpinan ini, yaitu kata “rijal” (pria) dikaitkan degan “nisa’” (wanita).
Kata nisa’ berkonotasi feminim,
domistik, lemah lembut, bahkan bermakna banyak lupa, sementara rijal bermakna
orang yang berjalan kaki, jadi makna sosiologis sesuai dengan artinya, rijal
atau pria itu bergerak, berusaha diruang publik, sedangkan wanita yang di
rumah. Kalau wanita itu lebih aktif, maka secara sosiologis, ai menjadi rijal,
dan kalau pria itu di rumah secara sosiologis ia menjadi nisa’. Tetapi kategori
gender, yaitu biologis, ia tetap al-zakar, secara sosiologis ia nisa’.
Ayat 34 surat an-nisa’ ini merupakan kategori
ekonomis sosiologis. Jika itu merupakan kategori sosiologis, berarti bahwa
kodrat ada yang alami (nature) dan historical contruction (nurture).Selama ini,
konstruksi sosial itu akhirnya dibakukan menjadi konstruksi teologis.[6]
KESIMPULAN
Dalam persoalan
perempuan, Teks-teks al-Qur’an dan Hadis dapat dikelompokkan menjadi dua.
Pertama adalah teks yang menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki.
Terdapat beberapa ayat dan hadis yang secara tegas menyatakan kesejajaran perempuan
dan laki-laki, dan banyak ayat dan hadist lain yang menyatakannya secara umum.
Kelompok kedua adalah teks yang secara literal menunjukkan inferioritas
perempuan ketika berhadapan dengan laki-laki, bahkan cenderung bersikap
misoginis terhadap mereka.
Ayat Surah
An-Nisa’ ayat 34 Adalah salah satunya yang secara literatur menyatakan
keunggulan dan kekuasaan kaum laki-laki terhadap perempuan, Ulama klasik
terdahulu banyak yang menafsirkan ayat tersebut dengan mendukung paradigma
tersebut sehingga menuai kontroversi terhadap beberapa kalangan yang mengajukan
untuk mengreinterpretasikan ayat tersebut dengan konteks saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Siti Shoichah, Aas , Pendidikan Asertif Gender dalam Perspektfi
Alquran, Mumtaz, Jakarta:Program Pasca Sarjana PTIQ, 2006.
Matswah, Akrimi, Reinterpretasi Ayat-Ayat tentang Relasi Gender
dalam Keluarga, Shuhuf Vol.7 , Jakarta: Majallah
Lidirosatil quran, 2014.
Subhan, Zaitunnah, Tafsir Kebencian:Studi Bias Jender dalam Tafsir Quran, Yogyakarta: PT.
LKiS Pelanggi Aksara, 2016.
[1]
Aas Siti Shoichah, Pendidikan Asertif Gender dalam Perspektfi Alquran, Mumtaz,
(Jakarta:Program Pasca Sarjana PTIQ, 2006). Hlm. 100.
[2]
Akrimi Matswah, Reinterpretasi Ayat-Ayat tentang Relasi Gender dalam
Keluarga, Shuhuf Vol.7 ,(Jakarta: Majallah Lidirosatil quran, 2014). Hlm.304.
[3] Ibid
hlm. 305
[4]
Akrimi Matswah, Reinterpretasi Ayat-Ayat tentang Relasi Gender dalam
Keluarga, Shuhuf Vol.7 ,(Jakarta: Majallah Lidirosatil quran, 2014). Hlm.317
[5]
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian:Studi Bias Jender dalam Tafsir Quran,
(Yogyakarta:PT. LKiS Pelanggi Aksara, 2016),hal.102
[6]
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian:Studi Bias Jender dalam Tafsir Quran,...hal.111
Tidak ada komentar:
Posting Komentar