I. PENDAHULUAN
Al-Qur’an
merupakan Kalamullah yang berisi petunjuk dan hikmah yang membawa manusia ke
jalan yang lurus. Dalam Al-quran terdapat banyak sekali pelajaran yang harus
kita fahami dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Mengamalkan Alquran dengan
memahami kandungannya adalah tugas kita sebagai seorang hamba agar terus berada
dalam rahmat dan ridhonya.
Al quran
menjelaskan etika kepada sang maha pencipta, dan bagaimana agar kita dapat
memperbaiki hubungan kita terhadap Allah SWT sehingga menjadi hamba yang
bertaqwa. Tidak hanya itu, dalam Al quran pula menjelaskan etika kita terhadap
sesama manusia dalam menjalin hubungan harmonis dan mempererat kerukunan antar
sesama manusia.
Mengagungkan
Al-qur’an tidak diragukan lagi sudah menjadi kewajiban kita para umat muslim,
oleh karena itu, kita mesti menjauhi tindakan yang dapat menodai Al quean
dengan hinaan dan cacian.
Ayat 110 pada
Surah Al-Isra’ dalam Al qur’an secara garis besar menjelas topic-topik diatas,
dengan memahami Asbabun Nuzul ayat tersebut tentu kita akan memahami lebih
dalam makna dan kandungan ayat tersebut sehingga dapat kita amalkan dalam
kehidupan kita.
II. PEMBAHASAN
A. Terjemahan Al quran surah Al-Isra’ ayat 110
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا
110. Katakanlah:
"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu
seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah
kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu".
B. Asbabun Nuzul Al-quran surah Al Isra Ayat 110
Dalam ayat ini terdapat dua pembahasan;
1. Pertama, menjelaskan tentang
berdo’a dengan asma Allah yang beragam , yakni firman Allah;
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا
فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
Mengenai potongan ayat
pertama ini, Dalam tafsir jalayn dikatakan:
كان صلى
الله عليه وسلم يقول ياألله يَا رَحْمَن فَقَالُوا يَنْهَانَا أَنْ نَعْبُد
إلَهَيْنِ وَهُوَ يَدْعُو إلَهًا آخَرَ مَعَهُ فَنَزَلَ {قُلْ} لَهُمْ……..
Disebutkan bahwa
Nabi saw. sering mengucapkan kalimat ya Allah, ya Rahman; artinya wahai Allah,
wahai Yang Maha Pemurah. Maka orang-orang musyrik mengatakan, "Dia
melarang kita untuk menyembah dua tuhan sedangkan dia sendiri menyeru tuhan
lain di samping-Nya," maka turunlah ayat berikut ini.[1]
Adapun dalam tafsir Ibn Katsir dikatakan:
وَقَدْ
رَوَى مَكْحُولٌ أَنَّ رَجُلًا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ
يَقُولُ فِي سُجُودِهِ: "يَا رَحْمَنُ يَا رَحِيمُ"، فَقَالَ: إِنَّهُ
يَزْعُمُ أَنَّهُ يَدْعُو وَاحِدًا، وَهُوَ يَدْعُو اثْنَيْنِ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ
هَذِهِ الْآيَةَ. وَكَذَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَوَاهُمَا ابْنُ جَرِيرٍ.
Telah diriwayatkan oleh Mak-hul, bahwasanya ada seseorang dari kaum
musyrik yang mendengar Nabi dalam sujudnya mengucapkan: “Ya Rahmaan, ya Rahiim
(wahai yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang).” Lalu orang itu beranggapan bahwa
beliau telah menyeru satu orang dengan dua nama, lalu Allah Ta’ala menurunkan
ayat ini. Demikianlah yang diriwayatkan dari Ibnu `Abbas, keduanya diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir.[2]
2. Kedua, menjelaskan etika dalam membaca bacaan sholat, yakni
firman Allah:
وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ
ذَلِكَ سَبِيلا
Dalam Tafsir Ibn Katsir, dikatakan:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: نَزَلَتْ هَذِهِ
الْآيَةُ وَهُوَ مُتَوَارٍ بِمَكَّةَ {وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ
بِهَا [وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا] }
قَالَ: كَانَ إِذَا صَلَّى بِأَصْحَابِهِ رَفَعَ صَوْتَهُ بِالْقُرْآنِ،
فَلَمَّا سَمِعَ ذَلِكَ الْمُشْرِكُونَ سَبُّوا الْقُرْآنَ، وَسَبُّوا مَنْ
أَنْزَلَهُ، وَمَنْ جَاءَ بِهِ. قَالَ: فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِنَبِيِّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ} أَيْ:
بِقِرَاءَتِكَ فيسمع المشركون فيسبوا القرآن {وَلا تُخَافِتْ بِهَا} عَنْ أَصْحَابِكَ فَلَا تُسْمِعُهُمُ
الْقُرْآنَ حَتَّى يَأْخُذُوهُ عَنْكَ {وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا} .
Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia mengatakan, ayat ini turun ketika
Rasulullah saw. tengah bersembunyi di Makkah, Ibnu `Abbas mengatakan, jika
Rasulullah mengerjakan shalat bersama para sahabatnya, maka beliau membaca ayat
al-Qur’an dengan suara keras. Dan ketika mendengar bacaan itu, orang-orang
musyrik mencela al-Qur’an dan mencela Rabb yang menurunkan serta orang yang membawanya.
Lebih lanjut, Ibnu `Abbas menuturkan, maka Allah Ta’ala berfirman kepada
Nabi-Nya, Muhammad saw: “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu,” yakni dalam
bacaanmu, sehingga akan didengar oleh orang-orang musyrik, lalu mereka akan
mencela al-Qur’an .“Dan janganlah pula merendahkannya.” Yakni dari para
sahabatmu, sehingga engkau tidak dapat memperdengarkan bacaan al-Qur’an kepada
mereka yang akhirnya mereka tidak dapat mengambilnya darimu, “Dan carilah jalan
tengah di antara kedua itu.”[3]
Kedua asbabun Nuzul tersebut diriwayatkan dari Ibn Abbas, Ibn Jarir
merajihkan hadist pertama karena sanadnya lebih shahih. An-Nawawi dan ulama
hadist yang lain juga merajihkannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “akan tetapi ada kumungkinan kedua
hadist itu bisa dikompromikan, bahawa trurunya ayat tersebut berkenaan dengan
masalah berdo’a di dalam sholat. Hal ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain:
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari hadist riwayat Abu Hurairah, ia
mengatakan, “ Rosulullah SAW tatkala sholat di Baitullah, beliau mengeraskan
suaranya dalam berdo’a. Maka turunlah ayat tersebut.
Ibnu Jarir dan Al-Hakim meriwayatkan dari Aisyah, ia mengatakan;
Ayat tersebut turun berkenaan dengan bacaan tasyahhud.
Ibnu Mani’ dalam musnadnya meriwayatkan dari Ibnu Abba; bahwa
dahulu orang-orang mengeraskan suara ketika berdo’a, “Ya Allah Ampunilah aku.”
Maka turunlah ayat tersebut.
C. Tafsir singkat ayat tersebut
ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw. bahwa katakanlah: “Serulah
Tuhan Yang Maha Esa dengan nama Allah atau serulah Dia dengan nama ar-Rahmân.
Dengan nama yang mana saja kamu seru di antara semua nama-nama-Nya, maka itu
adalah baik,Dia mempunyai al-Asmâ’ al-Husnâ, yakni nama-nama yang terbaik.
Kalian tidak perlu ragu menyebut salah satu nama itu atau kesemuanya sekaligus
karena berbilangnya nama tidak berarti berbilangnya zat .[4]
Ayat ini memerintahkan untuk membaca al-Qur’an ketika shalat atau
berdoa di luar shalat dengan tidak terlalu mengeraskan suara dan tidak juga
merahasiakannya. Ini untuk menghindari gangguan terhadap orang lain sekaligus
menghindari gangguan dari orang lain. Nabi saw. melaksanakan tuntunan ini dalam
pelaksanaan shalat dan doa. Itu sebabnya pula sehingga pada saat orang-orang
musyrik masih berkeliaran, di waktu Zuhur dan Asar, bacaan-bacaan shalat
dilakukan dengan suara yang rahasia (sangat perlahan). Sedangkan, di waktu
Subuh ketika mereka masih nyenyak tidur demikian juga Maghrib dan ‘Isya ketika
mereka telah kembali ke rumah masing-masing, shalat-shalat itu dilaksanakan
Nabi saw. dengan bacaan yang dapat terdengar secara jelas oleh para makmum.[5]
D. Pengamalan Ayat tersebut beserta Asbabun Nuzulnya dalam keseharian.
Mengamalkan ayat tersebut beserta intisari dari asbabun nuzulnya
dapat dilakukan dan diterapkan dalam ibadah kita sehari-hari. Berdo’a bukan
saja hanya kegiatan atau aktifitas rutin yang dikerjakan setiap hari, lebih
dari itu, berdoa adalah kebutuhan seorang hamba untuk meminta kepada tuhan dan
menunjukan akan ketidak berdayaan kita dihadapannya. Dengan mengetahui asbabun
nuzul ayat ini, kita dapat memahami bahwa dalam berdo’a, kita bebas untuk
memuji Allah SWT, dengan nama-namanya yang agung. Tampik perkataan orang-orang
yang mengatakan “orang muslim tidak konsisten dalam memanggil tuhannya”, “orang
muslim memiliki tuhan yang beragam dengan nama yang beragam”. Ketahuilah, Allah
SWT adalah tuhan yang esa, tiada tuhan selainnya, maha suci Allah dan maha
besar ia dengan segala keagunganya dan Asmaul husna yang ia tegaskan dalam
firmannya. Terbilangnya nama Allah SWT tidak berarti terbilangnya zat, malah hal ini menunjukan
akan keagungan dan kekuasaan allah atas segala sesuatu. Seperti yang dikatakan
pepatah Arab:
كثرة الأسماء تدل على شرف المسمى أو
كماله
“Banyaknya nama menunjukan
akan banyak kemuliaan yang mempunyai nama.”
Adapun mengenai konteks ayat yang kedua, dalam mengamalkanya,
hendaknya kita lebih beretika dalam melaksanakan sholat. Bacaan sholat yang
seharusnya menjadi ibadah, terkadang dapat menjadi bumerang untuk kita jika
dilakukan dengan salah atau tidak menggunakan etikanya.
Sholat memang ibadah paling afdhol dan tidak diragukan lagi
keutamaanya, akan tetapi bagaimana jika sholat yang kita lakukan menimbulkan
ketidaknyamanan bagi orang di sekeliling kita? Tentu perlu kita pertimbangkan.
Dalam kitab Hasyiyah Al-Bayjuri dalam bab Sholat dikatakan:
“Haram mengeraskan suara disekitar orang yang merasa terganggu
dengannya, Adapun sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh saja, yang mana
pendapat ini adalah dalam kasus ketika bacaan tidak pasti menyebabkan
gangguan.”[6]
Agama islam adalah agama mengajarkan etika dalam berhubungan sesama
manusia, begitu pula mengajarkan etika dalam berhubgan dengan sang Kholiq.
Menggabungkan kedua etika ini adalah tugas kita yang perlu diperhatikan untuk
membangun hubungan yang erat dengan keduanya sekaligus. Untuk itulah Allah SWT
mengajarkan kita untuk tidak menjadikan ibadah kita sebagai penghacur hubungan
kita terdahap sesama.
Hendaknya kita bayangkan jika kita berada di posisi orang yang
merasa terganggu tadi, apakah orang tersebut sedang tidur, belajar atau
kegiatan lainya,tentu perasaan kita merasa jengkel dan kesal. Membuat orang
lain kesal dan jengkel bukan hal yang baik malah merupakan hal tercela dan
dosa.
Begitu pula jika kita sholat sedangkan disekitar kita terdapat
orang-orang non muslim, setelah mengetahui asbanun nuzul ayat ini, maka kita
tahu bahwa ayat ini menceritakan mengenai orang musyrik yang mencela dan
mencomooh ketika mereka mendengar bacaan sholat. Kita sebagai umat muslim tentu
sangat mengagungkan bacaan Al qur’an, karena itu, tidak boleh bagi kita untuk
menimbulkan cacian dan cemooh terhadap
Al quran disebabkan bacaan kita yang keras itu.
Agama islam adalah agama yang mengajarkan toleransi, naik itu
terhadap sesama muslim ataupun non muslim, jika kita diperintahkan untuk tidak
mengganggu sesama muslim, kita juga tidak boleh mengganggu mereka yang bukan
beragama muslim, terlebih lagi jika dapat menimbulkan permusuhan sebab gangguan
kita.
III. KESIMPULAN
Dengan membaca
keterangan diatas, dapat kita fahami akan pentingnya menjaga hubungan kita
dengan Allah SWT juga hubungan kita dengan sesama manusia. Berdo’a kepada Allah
dengan menyebut Asmaul husna Allah adalah cara yang baik bagi kita untuk
senantiasa mengakui akan keagungan dan kebesaran Allah.
Beribadah kepada
Allah tidak boleh menjadi penghalang kita untuk selalu terkoneksi dan menjalin
hubungan dengan sesama manusia, apalagi menjadi gangguan kepada mereka. Etika
yang diajarkan Al qur’an sungguh bijaksana dan mulia untuk kehidupan manusia.
Oleh karena itu,
jangan sampai kita menodai Al qur’an dan agama kita dengan celaan dan cemoohan
orang sekitar, hanya karena kurangnya etika
dalam beribadah.Maka, hendakanya kita selalu beroegang teguh pada Al
quran dan sunnah dan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik di mata Allah
SWT dan sesama manusia.
DAFTAR PUSTAKA
AS-suyuti,
Abdurrahman, Tafsir Jalalayn, (Surabaya:Bangkul indah 1998)
Ibn
Katsir, tafsir Ibn Katsir,( Beirut: Darul Ibn Hazm, 2000)
Shihab,
Quraish , Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001)
Al Bayjuri, Ibrohim, Hasyiah
Al Bayjuri, (Jakarta: Darul Kutub Islamiyyah, 2007)
[1] Jalaluddin
Abdurrahman AS-suyuti, Tafsir Jalalayn,(Surabaya:Bangkul indah 1998)
hlm. 236
[2] Imam
Ibn Katsir, tafsir Ibn Katsir,( Beirut: Darul Ibn Hazm, 2000) hlm.
1142-1143
[3] Imam
Ibn Katsir, tafsir Ibn Katsir,( Beirut: Darul Ibn Hazm, 2000) hlm. 1143
[4] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001).
Halaman 215
[5] Ibid
hlm. 217
[6]
Ibrohim Al Bayjuri, Hasyiah Al Bayjuri, (Jakarta: Darul Kutub
Islamiyyah, 2007), hlm. 319
Tidak ada komentar:
Posting Komentar